Aku menariknya lebih dekat, dan aku merasa dirinya malu sambil cekikikan ketika aku meminta meletakkan tangannya ke leherku. Tangannya melilit leherku dan tanganku berada di pinggangnya. Tapi tak satu pun dari kita menjaga tangan kita memegang satu sama lain untuk waktu yang lebih lama. Bass musik itu begitu keras, aku bisa merasakannya berdebar di dadaku. Atau itu hanya hatiku yang berdebar? Aku tak bisa mengendalikan tubuhku lagi, tapi pada saat yang sama, aku sangat menyadari bahwa aku begitu dekat dengannya.
Aku tidak bisa menahannya. Aku merasa dia terpengaruh karenaku. Aku sendiri begitu tertarik padanya seperti magnet. Kepalaku kabur, tapi kutahu aku membuat keputusan yang tepat. Pinggul ini baru saja mulai bergerak sendiri.
“Pernah dansa sebelumnya?” aku tersenyum berkata padanya. Dia menggeleng.
“Aku juga belum, cuma pernah lihat di film, tapi aku takkan membiarkanmu terjatuh”. Aku mencoba meyakinkannya.
Andai saja aku bisa melambatkan waktu, di saat-saat seperti ini, kupindahkan tanganku dari pinggang menuju punggungnya. Aku tidak ingin dia menjauh. Tampaknya dia sedikit gugup karena aku merasa dia sedikit menolaknya. Tertarik napasnya karena terkejut ketika dia merasakan hembusan napasku mengenai telinganya. Melihat sikapnya terkejut membuatku tersenyum. Jemarinya menyelinap dibalik kerah kemeja putih yang aku kenakan dan aku merasa dia mencubit leherku. Tubuhku makin kudekatkan dan bibir ini sengaja kuserempetkan pada bagian atas dahinya. Aku merasa napasku bergetar.
Aku membayangkan kita saat ini dilihat oleh berpuluh-puluh pasang mata. Mereka melihat tingkah kita. Mereka tampak memaklumi karena mereka melihat kita sedang jatuh cinta. Alunan lagu cinta favorit kita diputar begitu syahdu saat itu. What a lovely momment.
Seketika dia menatapku ketika aku menyebut namanya. Tampaknya dia sedang melamun ketika kusebut namanya. Sikap terkejutnya lebih parah daripada yang tadi. Tidak, ruangan ini tenang dan aku menyadari matanya tadi tertutup. Aku telah membuat matanya terbuka.
Banguuuun!
Kali ini suaranya balik membangunkanku. Aku pasti bermimpi sebelumnya. Aku mengerjap beberapa kali, mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Mencoba menyadari barusan mimpi atau tidak.
"Hei," katanya lembut. Suara lembutnya ternyata seperti menampar dari kelinglunganku.
"Mm?" aku mencoba menjawab. Pipiku dicubit.
"Kau menggeliat-geliat," dia terkikik. "Kamu mimpi buruk?"
"Tidak," Aku menggeleng, tapi kemudian ragu-ragu. Jelas itu bukan mimpi buruk. Aku cepat-cepat bangun dan duduk, dia beringsut kembali.
Baru setelah aku mendapatkan kesadaranku sepenuhnya, ternyata tadi hanya mimpi.